Cerita SMK N 1 Cirebon

Dari dulu gue punya impian, jika lulus MTs nanti, gue ingin melanjutkan ke SMK Negeri 1 Cirebon. Salah satu SMK favorit di Cirebon. Alasan gue masuk SMK sebenarnya sederhana, yaitu karena gue ingin mengikuti jejak pakde gue yang dulunya bersekolah di SMK tersebut. Bisa menservis berbagai macam peralatan elektronika, keren kan? Pikir gue waktu itu. Dan sampai sekarang pakde gue sudah bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Lebih keren lagi kan?
Tahun 2008, Alhamdulillah gue lulus MTs dengan nilai yaaaa . . .  cukup memuaskan. Nggak kecil, juga nggak terlalu gede. Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, gue coba nyari informasi tentang SMK impian gue itu.
Dan akhirnya hari jum’at, tanggalnya lupa J, gue dan teman gue. Rudi Aryanto namanya, berangkat pagi sekali, sekitar setengah tujuh pagi. Berharap dapat nomor antrian kecil. Karena menurut informasi yang gue dapat, sebelum mendaftar, ada test kesehatan dan test buta warna terlebih dahulu di SMK. Waktu itu tidak ada test tertulis untuk masuknya, cuma menggunakan nilai Ujian Nasional.
Rudi Aryanto adalah teman gue waktu MTs sampai sekarang dan selamanya. Teman MTs yang masih komunikasi sama gue adalah dia. Gue sering main ke rumahnya kalau libur kuliah dan pulang ke Cirebon. Boleh dibilang, sebenarnya dia masih sodaraan sama gue, sodara jauh sih. Kakek dan neneknya masih saudaraan sama kakek dan nenek gue. Jauh banget yaaaah?
Tiba di sana, tak disangka dan tak diduga ternyata sudah banyak pendaftar yang mengantri. Kurang pagi berangkatnya ini. Siswa-siswa berjubel dan rela berdesak-desakan demi mendapatkan nomor antrian yang kecil, agar bisa segera menyelesaikan pendaftaran dan pulang. Gue juga pengen seperti ini. Tapi . . yasudahlah karena gue datangnya terlambat, jadi harus menunggu lebih lama.
Di tengah keramaian dan berdesakan di antrian, bertemulah dengan teman gue satu sekolah beda kelas. Bertambahlah, gue, Rudi Aryanto, dan Jafar, berjuang mendaftar di sekolah yang sama,
Beberapa jam kemudian, kami mendapatkan nomor antrian. Namun yang paling kecil nomor antriannya adalah gue. Sambil menunggu antrian yang masih lama, kami berkeliling di sekolah yang menjadi impian sebagian siswa ini. Melihat kelas dan suasana sekolah, biar nggak kaget kalau diterima di sekolah ini.
Duduk sejenak dan istirahat di masjid sekolah, melihat-lihat sekeliling. Kemudian melanjutkan berkeliling sekolah menuju tempat pendaftaran. Masih lama antriannya, lebih baik shalat jum’at terlebih dahulu.
Selesai melaksanakan shalat, ngobrol-ngobrol dulu. Rudi bercerita tentang tetangganya yang menjadi guru di sini.
“Waah, enak yaah, bisa nepotisme” dalam hati gue. Kata dia tinggal bilang aja nomor pendaftarannya berapa, nanti diproses.
“Enaak bangeet gila” kata gue.
Akhirnya, setelah nunggu hingga jam 2 siang, kami bisa melaksanakan test kesehatan dan test buta warna yang merupakan prasyarat masuk SMK. Kami harus melihat dan menebak angka berapa yang ditunjukkan oleh deretan warna yang terbentuk. Yang semua warnanya itu hampir mirip satu sama lain. Kemudian dilanjutkan dengan test kesehatan. Buka baju dan diperiksa, apakah ada tato yang menempel di tubuh atau ada suatu tindik di telinga. Apakah posistif pengguna narkoba atau tidak.
Jurusan yang gue pilih, yang pertama adalah yang ada elektronikanya, yaitu elektronika industri, dan pilihan keduanya teknik komputer jaringan. Setelah beres semua proses pendaftaran, karena sudah memasuki waktu ashar, kami ke masjid untuk melaksanakan shalat ashar. Selesai shalat, Rudi menelepon tetangganya yang menjadi guru di sini.
“ Bu, saya udah daftar dan nomor pendaftarannya adalah 1753” Rudi melalui teleponnya.
Aduh, gue juga pengen.
“Rud, nomor gue dong sekalian” dalam hati gue, yang nggak keluar dari mulut karena terlanjur nggak enak.
Teman gue sih tetangganya, kenal dan orang tuanya juga kenal sama guru tersebut. Laah, gue? Siapanya? Kenal aja enggak, tiba-tiba minta di masukin ke sekolah ini. Kami tutup pendaftaran ini dengan pulang ke rumah masing-masing, dan gue tanpa nepotisme dengan guru tetangga teman gue tersebut.
Gara-gara pengen banget masuk SMK ini, gue jadi lebih rajin beribadah, khususnya shalat tahajjud. Tiap sepertiga malam, gue sempetin shalat dan berdoa agar Tuhan memasukkan gue di SMK ini. Aamiin.
Beberapa hari kemudian (backsound tegang) tibalah pengumuman seleksi. Gue yang tau hari itu adalah pengumuman seleksi sangat bersemangat berangkat ke sekolah.
Sampai di sekolah, banyak teman-teman juga yang berangkat, padahal mereka udah lulus. Sebelum melihat langsung ke SMK, ada yang bilang gue lulus. Namanya umar di jurusan elektronika industri, tapi belum jelas nama panjangnya siapa? Walaupun belum jelas, tapi gue merasakan kebahagaian tersendiri. Hati gue berbunga-bunga, bunga kamboja, bunga melati, bunga desa, mendapat kabar seperti ini.


Karena kabar yang didapat masih belum jelas, gue coba melihat langsung ke SMK. Gue langsung bergegas menuju papan pengumuman. Gue liat-liat papan itu dengan seksama dan penuh ketegangan. Melihat nama-nama yang tertulis di papan itu. Dari jurusan elektronika industri, kemudian teknik komputer jaringan.
Dan ternyata nama gue tidak ada dalam daftar siswa yang lulus. Gue coba liat sekali lagi. Tetap aja nggak ada.Yang katanya ada nama gue, itu bukan nama panjang gue dan nomor pendaftarannya pun bukan nomor gue.
Gue nggak lulus masuk SMK. Gue GAGAL masuk SMK. Kenyataan pahit yang harus gue terima. Kalau boleh dibilang, ini merupakan kesedihan mendalam pertama yang gue rasakan (lebay sedikit). Gue juga sempat meneteskan air mata gara-gara ini (lebay lagi). Dan yang membuat gue semakin sedih dan semakin nyesek adalah teman seperjuangan gue, Rudi, dia lulus masuk SMK. Masuknya itu di jurusan yang bukan pilihan dia. Gue yang temannya nggak masuk.
Mungkin karena nepotisme dengan tetangganya, dia bisa masuk. Teman seperjuangan yang berjuang bersama mendaftar dari pagi hingga sore hari, dia lulus, gue nggak lulus. Nyesek banget kan?
Tapi teman-teman rumah gue juga nggak ada yang lulus. Ini membuat gue sedikit tenang. Karena ternyata masih banyak teman gue yang nggak lulus, yang notabene mereka adalah teman rumah dan teman bermain sehari-hari. Mau tidak mau gue harus melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lain.
Keinginan gue masih tetap sama yaitu masuk SMK, swasta juga nggak apa-apa. Tidak pernah terpikir untuk masuk SMA. Karena masuk SMA itu identik dengan melanjutkan kuliah. Sedangkan yang dipikiran gue setelah lulus itu kerja. Makanya pengen masuk SMK.
Tiga orang teman rumah gue ingin masuk SMK 70 swasta. Gue juga ingin masuk SMK tersebut. Selain karena teman, juga karena sekolah ini merupakan salah satu SMK swasta ternama. Tapi bokap nggak ngijinin gue bersekolah di SMK tersebut. Karena sekolah ini sering tawuran, yaaa walaupun SMK impian gue juga sering terlibat tawuran, namun yang paling banyak beritanya adalah SMK swasta yang gue tuju ini.
Bokap baik banget dan perhatian sama gue. Beliau tidak ingin anaknya terjadi apa-apa atau terlibat dalam tawuran antar pelajar.  Yaa, namanya SMK atau STM yang siswanya adalah kebanyakan cowok, jadi sering banget terlibat tawuran.
Nggak tau kenapa mereka, anak-anak STM sampai tawuran begitu? Padahal masalahnya sepele mengejek, terus tawuran. Katanya karena dosa turunan, dari dulunya sekolah A musuhnya sekolah B, sekolah A bertemannya dengan sekolah C, dan seterusnya.
Kata orang-orang yang terlibat tawuran juga adalah untuk mempertahankan harga diri. What harga diri? Harga diri kok dipertahankannya dengan tawuran yang juga merugikan masyarakat sekitar akibat tawuran tersebut. Sepertinya ada provokator-provokator yang menyebabkan terjadinya tawuran tersebut, yang nggak ikut-ikutan akhirnya terlibat juga.
Masalah tawuran antar pelajar ini sudah menjadi masalah yang serius di negeri ini, tidak sedikit korbannya, sampai kehilangan nyawa. Sungguh memprihatinkan. Masalah ini bukan lagi menjadi masalah menteri pendidikan saja, tetapi masalah kita bersama. Masyarakat, guru, orang tua, polisi, dan kita, berperan dalam penanganan masalah ini, meminimalisir terjadinya tawuran antar pelajar.
Sudah terlalu jauh membahas tentang tawuran, balik lagi ke cerita gue tadi. Akhirnya, bokap nyaranin buat melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri, karena selain jaraknya dekat juga biayanya tidak terlalu mahal. Dan juga ada guru yang mengajar di sekolah ini yang merupakan teman bokap gue, lagi-lagi memungkinkan terjadinya nepotisme. Nepotisme bisa jadi baik asalkan the right man on the right place.

Gue yang masih remaja ababil, awalnya menolak untuk masuk Madrasah Aliyah atau setara dengan SMA. Gue coba bujuk bokap agar bisa ngijinin sekolah di SMK swasta. Gue coba rayu beliau. Tapi bokap gue tetap nggak ngijinin. Akhirnya gue harus ngalah dan menerima untuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 1 Cirebon.

“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah 2:216)

No comments:

Powered by Blogger.