Cerita SMK N 1 Cirebon

Tahun
2008, Alhamdulillah gue lulus MTs dengan nilai yaaaa . . . cukup memuaskan. Nggak kecil, juga nggak
terlalu gede. Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, gue coba nyari
informasi tentang SMK impian gue itu.
…
Dan
akhirnya hari jum’at, tanggalnya lupa J,
gue dan teman gue. Rudi Aryanto namanya, berangkat pagi sekali, sekitar
setengah tujuh pagi. Berharap dapat nomor antrian kecil. Karena menurut
informasi yang gue dapat, sebelum mendaftar, ada test kesehatan dan test buta
warna terlebih dahulu di SMK. Waktu itu tidak ada test tertulis untuk masuknya,
cuma menggunakan nilai Ujian Nasional.
Rudi
Aryanto adalah teman gue waktu MTs sampai sekarang dan selamanya. Teman MTs
yang masih komunikasi sama gue adalah dia. Gue sering main ke rumahnya kalau
libur kuliah dan pulang ke Cirebon. Boleh dibilang, sebenarnya dia masih sodaraan
sama gue, sodara jauh sih. Kakek dan neneknya masih saudaraan sama kakek dan
nenek gue. Jauh banget yaaaah?
…
Tiba
di sana, tak disangka dan tak diduga ternyata sudah banyak pendaftar yang
mengantri. Kurang pagi berangkatnya ini. Siswa-siswa berjubel dan rela
berdesak-desakan demi mendapatkan nomor antrian yang kecil, agar bisa segera
menyelesaikan pendaftaran dan pulang. Gue juga pengen seperti ini. Tapi . .
yasudahlah karena gue datangnya terlambat, jadi harus menunggu lebih lama.
Di
tengah keramaian dan berdesakan di antrian, bertemulah dengan teman gue satu
sekolah beda kelas. Bertambahlah, gue, Rudi Aryanto, dan Jafar, berjuang
mendaftar di sekolah yang sama,
…
Beberapa
jam kemudian, kami mendapatkan nomor antrian. Namun yang paling kecil nomor
antriannya adalah gue. Sambil menunggu antrian yang masih lama, kami
berkeliling di sekolah yang menjadi impian sebagian siswa ini. Melihat kelas
dan suasana sekolah, biar nggak kaget kalau diterima di sekolah ini.
Duduk
sejenak dan istirahat di masjid sekolah, melihat-lihat sekeliling. Kemudian
melanjutkan berkeliling sekolah menuju tempat pendaftaran. Masih lama
antriannya, lebih baik shalat jum’at terlebih dahulu.
…
Selesai
melaksanakan shalat, ngobrol-ngobrol dulu. Rudi bercerita tentang tetangganya
yang menjadi guru di sini.
“Waah,
enak yaah, bisa nepotisme” dalam hati gue. Kata dia tinggal bilang aja nomor
pendaftarannya berapa, nanti diproses.
“Enaak
bangeet gila” kata gue.
…
Akhirnya,
setelah nunggu hingga jam 2 siang, kami bisa melaksanakan test kesehatan dan
test buta warna yang merupakan prasyarat masuk SMK. Kami harus melihat dan
menebak angka berapa yang ditunjukkan oleh deretan warna yang terbentuk. Yang
semua warnanya itu hampir mirip satu sama lain. Kemudian dilanjutkan dengan
test kesehatan. Buka baju dan diperiksa, apakah ada tato yang menempel di tubuh
atau ada suatu tindik di telinga. Apakah posistif pengguna narkoba atau tidak.
Jurusan
yang gue pilih, yang pertama adalah yang ada elektronikanya, yaitu elektronika
industri, dan pilihan keduanya teknik komputer jaringan. Setelah beres semua
proses pendaftaran, karena sudah memasuki waktu ashar, kami ke masjid untuk
melaksanakan shalat ashar. Selesai shalat, Rudi menelepon tetangganya yang
menjadi guru di sini.
“
Bu, saya udah daftar dan nomor pendaftarannya adalah 1753” Rudi melalui
teleponnya.
Aduh,
gue juga pengen.
“Rud,
nomor gue dong sekalian” dalam hati gue, yang nggak keluar dari mulut karena
terlanjur nggak enak.
Teman
gue sih tetangganya, kenal dan orang tuanya juga kenal sama guru tersebut.
Laah, gue? Siapanya? Kenal aja enggak, tiba-tiba minta di masukin ke sekolah
ini. Kami tutup pendaftaran ini dengan pulang ke rumah masing-masing, dan gue
tanpa nepotisme dengan guru tetangga teman gue tersebut.
…
Gara-gara
pengen banget masuk SMK ini, gue jadi lebih rajin beribadah, khususnya shalat
tahajjud. Tiap sepertiga malam, gue sempetin shalat dan berdoa agar Tuhan
memasukkan gue di SMK ini. Aamiin.
Beberapa
hari kemudian (backsound tegang) tibalah pengumuman seleksi. Gue yang tau hari
itu adalah pengumuman seleksi sangat bersemangat berangkat ke sekolah.
Sampai
di sekolah, banyak teman-teman juga yang berangkat, padahal mereka udah lulus. Sebelum
melihat langsung ke SMK, ada yang bilang gue lulus. Namanya umar di jurusan
elektronika industri, tapi belum jelas nama panjangnya siapa? Walaupun belum
jelas, tapi gue merasakan kebahagaian tersendiri. Hati gue berbunga-bunga,
bunga kamboja, bunga melati, bunga desa, mendapat kabar seperti ini.
Karena
kabar yang didapat masih belum jelas, gue coba melihat langsung ke SMK. Gue
langsung bergegas menuju papan pengumuman. Gue liat-liat papan itu dengan
seksama dan penuh ketegangan. Melihat nama-nama yang tertulis di papan itu.
Dari jurusan elektronika industri, kemudian teknik komputer jaringan.
Dan
ternyata nama gue tidak ada dalam daftar siswa yang lulus. Gue coba liat sekali
lagi. Tetap aja nggak ada.Yang katanya ada nama gue, itu bukan nama panjang gue
dan nomor pendaftarannya pun bukan nomor gue.
Gue
nggak lulus masuk SMK. Gue GAGAL masuk SMK. Kenyataan pahit yang harus gue
terima. Kalau boleh dibilang, ini merupakan kesedihan mendalam pertama yang gue
rasakan (lebay sedikit). Gue juga sempat meneteskan air mata gara-gara ini
(lebay lagi). Dan yang membuat gue semakin sedih dan semakin nyesek adalah teman
seperjuangan gue, Rudi, dia lulus masuk SMK. Masuknya itu di jurusan yang bukan
pilihan dia. Gue yang temannya nggak masuk.
Mungkin
karena nepotisme dengan tetangganya, dia bisa masuk. Teman seperjuangan yang
berjuang bersama mendaftar dari pagi hingga sore hari, dia lulus, gue nggak
lulus. Nyesek banget kan?
Tapi
teman-teman rumah gue juga nggak ada yang lulus. Ini membuat gue sedikit
tenang. Karena ternyata masih banyak teman gue yang nggak lulus, yang notabene
mereka adalah teman rumah dan teman bermain sehari-hari. Mau tidak mau gue
harus melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lain.
Keinginan
gue masih tetap sama yaitu masuk SMK, swasta juga nggak apa-apa. Tidak pernah
terpikir untuk masuk SMA. Karena masuk SMA itu identik dengan melanjutkan
kuliah. Sedangkan yang dipikiran gue setelah lulus itu kerja. Makanya pengen
masuk SMK.
Tiga
orang teman rumah gue ingin masuk SMK 70 swasta. Gue juga ingin masuk SMK
tersebut. Selain karena teman, juga karena sekolah ini merupakan salah satu SMK
swasta ternama. Tapi bokap nggak ngijinin gue bersekolah di SMK tersebut. Karena
sekolah ini sering tawuran, yaaa walaupun SMK impian gue juga sering terlibat
tawuran, namun yang paling banyak beritanya adalah SMK swasta yang gue tuju
ini.
Bokap
baik banget dan perhatian sama gue. Beliau tidak ingin anaknya terjadi apa-apa
atau terlibat dalam tawuran antar pelajar.
Yaa, namanya SMK atau STM yang siswanya adalah kebanyakan cowok, jadi
sering banget terlibat tawuran.
Nggak
tau kenapa mereka, anak-anak STM sampai tawuran begitu? Padahal masalahnya
sepele mengejek, terus tawuran. Katanya karena dosa turunan, dari dulunya
sekolah A musuhnya sekolah B, sekolah A bertemannya dengan sekolah C, dan
seterusnya.
Kata
orang-orang yang terlibat tawuran juga adalah untuk mempertahankan harga diri. What harga diri? Harga diri kok
dipertahankannya dengan tawuran yang juga merugikan masyarakat sekitar akibat
tawuran tersebut. Sepertinya ada provokator-provokator yang menyebabkan
terjadinya tawuran tersebut, yang nggak ikut-ikutan akhirnya terlibat juga.
Masalah
tawuran antar pelajar ini sudah menjadi masalah yang serius di negeri ini,
tidak sedikit korbannya, sampai kehilangan nyawa. Sungguh memprihatinkan.
Masalah ini bukan lagi menjadi masalah menteri pendidikan saja, tetapi masalah
kita bersama. Masyarakat, guru, orang tua, polisi, dan kita, berperan dalam
penanganan masalah ini, meminimalisir terjadinya tawuran antar pelajar.
Sudah
terlalu jauh membahas tentang tawuran, balik lagi ke cerita gue tadi. Akhirnya,
bokap nyaranin buat melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri, karena selain
jaraknya dekat juga biayanya tidak terlalu mahal. Dan juga ada guru yang
mengajar di sekolah ini yang merupakan teman bokap gue, lagi-lagi memungkinkan
terjadinya nepotisme. Nepotisme bisa jadi baik asalkan the right man on the right place.
Gue
yang masih remaja ababil, awalnya menolak untuk masuk Madrasah Aliyah atau
setara dengan SMA. Gue coba bujuk bokap agar bisa ngijinin sekolah di SMK
swasta. Gue coba rayu beliau. Tapi bokap gue tetap nggak ngijinin. Akhirnya gue
harus ngalah dan menerima untuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 1
Cirebon.
“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu,
dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah
2:216)
No comments: