Ketika Cinta Berbuah Surga - Part 2
Akhirnya, Said berpikir untuk mencari teman di luar istana.
Kemudian, mulailah Said berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan
kampong-kampung untuk mencari seorang teman yang baik.
Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak
seorang pencari kayu yyang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu
bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan
pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar
matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air
wudhu, lalu shalat dua rakaat. Said memerhatikannya dari balik rumpun
pepohonan.
Selesai shalat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namakuu
Said. Kalau boleh tahu namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”
“Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya, dan
menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman.
Kau anak seorang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak
miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau
membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya
takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak
yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Mengapa tidak kita coba
beberapa waktu dulu? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak
menjadi temanmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat,
hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman uang seiya-sekata.”
Said menyepakati syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu bakar
itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama, memancing
bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya
berenang di sungai, menggunakan panah, dan memanjat pohon di hutan. Said sangat
gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada, dan
setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya.
Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said
merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan.
Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam,
dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia
minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang
mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan
kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan
tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal
baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia
diajari untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan;
antara daun dan buah bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat, serta yang
beracun.
“Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik,
kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di
sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari
madrasah seperti yang ada di ibukota kerajaan. Ilmu ada di mana-mana. Bahkan,
di hutan sekalipun. Hati itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada
sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya
besok pagi. Lalu, dia memberika secarik kertas pada temannya itu.
“Pergilah ke ibukota, berikan kertas ini kepada tentara yang kau
temui di sana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku,” kata Said sambil tersenyum.
“Insya Allah aku datang,” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia
sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu
masuk ke istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said
selama ini, dia berani masuk juga.
Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti
anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Said pun menguji
temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu
bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga
hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Selama menunggu, dia tidka
memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak
bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tenteram.
Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan,
senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan
shalih.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said
mempersilakan temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu bakar itu
mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara itu, Said
mengupas dengan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said
ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebutir telur itu, apakah
akan dimakannya sendiri, atau ….?
Anak miskin mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia
membelah telur itu jadi dua; yang satu dia pegang, dan yang satunya lagi, dia
berika kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis terharu.
Lalu, Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat
seraya berkata, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku
masuk surge.”
Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab.
Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan
saling menghormati karena Allah swt.
Karena kekuatan cinta itu, mereka bahkan sempat bertahun-tahun
mengembara bersama untuk belajar dan berguru kepada para ulama yang tersebar di
Turki, Syria, Irak, Mesir, dan Yaman.
Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa.
Raja yang adil; ayah Said, meninggal dunia. Akhirnya, Said diangkat menjadi
raja untuk menggantika ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah
Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman
seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering
melakukan shalat tahajud dan membaca al-Qur’an bersama. Kecerdasan dan
kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya; baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
sumber :
Habiburrahman El Shirazy
No comments: