Bapak

Setelah aku dinyatakan lulus dalam siding sarjana bulan Agustus 2015, bapak merasakan sakit pada benjolan di lehernya. Bapak merasakan gatal yang membuatnya susah tidur di malam hari. Diantar bapak kaji pergi ke RSUD Gunung Djati untuk dilakukan pemeriksaan radiologi, gula darah sewaktu, dan lain-lainnya. Hasilnya gula darah sewaktu bapak cukup tinggi. Karena memang sebelum-sebelumnya bapak juga sudah memiliki gula darah sewaktu yang cukup tinggi.

Hari berikutnya aku mendaftarkan diri, bapak, dan ibu pada BPJS Kesehatan dengan memilih kelas 3 yang iurannya ringan. Tujuannya adalah apabila bapak dioperasi tidak berbiaya (gratis) melalui BPJS. Faskes tingkat 1 memilih dr. Dudi Ruhendra untuk ketiganya, aku, bapak, dan ibu. Hari ke-14 setelah pendaftaran BPJS, aktivasi telah berhasil, kartu BPJS sudah dapat digunakan. Akhirnya bapak periksa ke dr. Dudi, karena benjolannya cukup lama maka dengan segera dr. Dudi membuatkan surat rujukan ke RS. Ciremai sesuai permintaan bapak untuk dilakukan operasi.

Bersama ang Soli, bapak pergi ke RS. Ciremai untuk dilakukan pemeriksaan. Karena hasil pemeriksaan lab dari RSUD Gunung Djati tidak bisa digunakan, maka bapak dilakukan pemeriksaan lab kembali. Hari berikutnya bapak sudah masuk ruang operasi, ibu dan keluarga terdekat sudah datang membantu dan menemani bapak. Namun karena belum ada rujukan dari klinik penyakit dalam, operasi harus ditunda sampai ada rujukan dari klinik penyakit dalam.

Aku menemani bapak ke RS. Ciremai untuk mendapatkan rujukan dari klinik penyakit dalam. Setelah masuk ke klinik penyakit dalam dan dilakukan pemeriksaan, pindah ke klinik bedah. “Nanti jumat ke sini lagi yah” begitu kata petugas klinik bedah. Namun karena seminggu lagi aku wisuda, hari jumat tidak ke rumah sakit. Kami bertiga sepakat operasinya dilakukan setelah aku wisuda.

Sekembalinya ke Cirebon setelah menghadiri prosesi wisuda, bapak sendirian mengendarai vespa menuju RS. Ciremai. Sampai di rumah sakit, ternyata mendapatkan nomor antrian yang besar.  Alhasil kata petugas “besok lagi aja ya pak, sudah penuh”. Tak menyerah, keesokan harinya bapak ke rumah sakit kembali. Sesampainya di rumah sakit, petugas kembali mengatakan “mohon maaf pak, hari ini khusus untuk anggota TNI”. Akhirnya bapak pulang tanpa hasil. Di rumah, tak bisa menahan tangisnya mencurahkan semuanya kepada ibu. Setelah membicarakannya dengan ibu, bapak memutuskan operasi dilakukan di RS. Medimas, dan berencana menjual vespa kesayangan untuk biaya operasi.

Sebelum ke RS. Medimas, ibu meneleponku mengabarkan bapak akan dioperasi di RS. Medimas, ingin jual vespa. Segera aku tak membolehkannya. “Ini bu aku punya uang buat operasi bapak, vespanya jangan dijual”.

Aku yang sedang di Bandung tak bisa menemani bapak operasi. Barulah sehari setelah operasi aku bisa menemani bapak yang masih menjalani rawat inap di rumah sakit. Hasil operasi akan diberitahukan satu sampai dua minggu kemudian.

Setelah operasi, bapak sempat menemaniku test kerja di Bogor, bertemu dengan bosnya dan rekannya sewaktu merantau ke Bogor dulu saat aku masih kecil. Mengenang masa-masa saat merantau dulu bersama bos dan rekannya yang masih setia di Bogor.

Dua minggu kemudian bapak dan ibu mengambil hasil operasi setelah sebelumnya konfirmasi dari rumah sakit melalui telepon. Hasilnya adalah bapak harus melanjutkan pengobatan di Bandung, karena didiagnosa terkena tumor, tumor ganas. Seketika bapak dan ibu terdiam. Sekembalinya di rumah, bapak dan ibu terus memikirkannya, ibu tak bisa tidur karenanya.

Setelah berdiskusi dengan bi id (adik ibu) yang pernah merasakan kemoterapi, bapak dan ibu langsung memesan tiket travel tujuan Bandung. Aku yang sedang di Bandung menjemput keduanya di apotek papandayan, tempat dr. Maman bertugas. Hari senin, dianter bi ing mendaftar di RSHS Bandung. Karena keegoisanku, aku tak bisa menemani bapak, ada rangkaian test general rekrutmen PLN di Jogja.

Ketika sedang di Jogja, ibu meneleponku mengabarkan jadwal kemo hari Rabu, ibu menyuruhku untuk segera pulang. Ingin rasanya segera pulang ke Bandung, tetapi pengumuman yang lolos tahap perikutnya baru diumumkan sekitar pukul 20.00. Setelah namaku tidak ada dalam daftar peserta yang lolos ke tahap berikutnya, selasa malam aku pulang ke Bandung. Aku sempat melihat bapang sedang kemoterapi terbaring di rumah sakit. Selepas dzuhur bapak diperbolehkan pulang, kemo pertama sudah selesai. Aku tak bisa menemani bapak pulang ke Cirebon, karena besoknya ada tes kerja di Karawang. Bapak dan ibu pulang ditemani kakak yang dari kemarin menemani kemo.

Di rumah, bapak mulai merasakan efek kemoterapi yang dijalaninya kemarin, makan hanya sedikit, serasa tak enak, lemas. Semua efeknya bapak rasakan. Hari senin aku berpamitan berangkat ke Bandung untuk membereskan barang-barang karena kostan habis akhir Januari. Saat aku berpamitan, bapak terlihat biasa saja, masih bisa duduk, berjalan, makan meskipun sedikit, tak ada tanda-tanda, dan aku pun tak merasakannya.

Setelah sampai di Bandung, keesokan harinya bi ing meneleponku mengabarkan bahwa bapak lagi ngedrop tidak bisa bangun dari tempat tidur, kencing dan berak di tempat tidur. Segera ku bereskan barang-barang, semula rencana pulang hari Rabu, setelah menerima telepon dari kakak selepas isya yang mengabarkan bahwa bapak dirawat di rumah sakit gunung djati, aku langsung pulang selasa malam.

Tiba di Cirebon sekitar pukul 03.00 dini hari. Karena tidak ada angkot ojeg, aku berjalan kaki dari jl. Pemuda menuju Rumah Sakit Gunung Djati. Bapak dirawat di ruang asoka, ruang yang sama saat kakek dirawat sebelum kepergiannya setelah masuk ICCU. Aku dan ibu menemani bapak yang terbaring di tempat tidur pasien. Secara bergantian aku dan ibu menemani bapak, membantu memberikan minum, mengantar bapak ke kamar mandi.

Rabu siang bapak masih seperti biasa, masih bisa duduk di atas kasur, masih bisa berjalan ke kamar mandi ditemani ibu dan aku, masih bisa minum, masih bisa makan meskipun sedikit. Tetapi bapak selalu mengeluhkan tenggorokannya sakit, seret, detak jantung lebih cepat dari biasanya, dan juga berak secara terus menerus (diare).

Aku masih belum merasakan jika hari itu adalah hari terakhirku melihat bapak secara sempurna, hari terakhirku berbakti kepada bapak, hari terakhir aku melihat wajah bapak, hari terakhir aku mengobrol dengan bapak, hari terakhir aku merasakan memiliki seorang bapak yang penuh tanggung jawab, bapak yang hebat, bapak yang selalu mendoákan anaknya, bapak yang sabar menghadapi anaknya, bapak yang jarang marah pada anaknya, bapak yang ketidaktampakannya sangat perhatian, bapak yang mengajarkan anaknya selalu sholat berjamaáh melalui contohnya, bapak yang pendiam, bapak yang tidak mudah marah kepada siapapun.

Aku berencana pulang ke rumah terlebih dahulu besok pagi, untuk mengambil sarung bapak dan pakaian ibu. Rabu malam aku menemani bapak, membantu bapak minum. Bapak dari kemarin jarang tidur, paling tidur hanya satu jam.

“Paak, tidur, biar besok bisa segar, bisa sembuh, bisa pulang” bisikku pada bapak yang terbaring, detak jantungnya semakin kencang, tenggorokannya sakit, namun masih bisa minum.

“Pak coba matanya dipejamin, biar bisa tidur, biar bisa sembuh, biar besok bisa pulang ke rumah”

“Udah shubuh belum mar?” tanya bapak pelan.

“Belum pak, masih jam setengah dua belas” jawabku pelan.

Jam 12 malam, berganti dengan ibu, aku yang istirahat, ibu yang jaga. Aku istirahat memejamkan mata tanpa bermimpi dan merasakan apapun.

Jam 02.00 dini hari ibu membangunkanku, ku lihat bapak kesusahan bernafas, tenggorokannya sakit, dan tak sadarkan diri. Segera memanggil perawat. Perawat menganjurkan untuk diberi air hangat. Aku segera keluar rumah sakit membeli air hangat. Ibu yang menemani bapak, memeluk bapak erat dengan membisikkan “Allah, Allah, Allah” pada telinga bapak. Aku gemetar sekembalinya ke ruangan, bapak masih tak sadarkan diri, nafasnya tidak teratur, aku sempat memberikan bapak air hangat melalu sedotan. Ibu menyuruhku mengaji. Langsung aku ambil Al-Qurán dalam tas. Dokter datang dengan perawatnya membawa tabung oksigen dan peralatan lainnya. Namun sudah tidak dapat tertolong lagi, 02.35 bapak menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku terdiam, termenung. Ibuku langsung menelepon kakak dan sanak saudara yang lain. Ibu juga menelepon ang soli untuk segera membawa ambulans desa ke rumah sakit. Sebelum shubuh jenazah bapak sampai di rumah. Sholat jenazah masih belum bisa ditentukan waktunya, karena menunggu kedatangan kakak dari Tangerang bersama suaminya. Aku mencoba menegarkan diri, namun tak bisa, setiap kali ada yang mendekat sambal menangis, aku ikut menangis.

Aku ikut memandikan jenazah bapak, aku mencoba menahan air mata, aku terus mencoba menahannya. Aku melihat bapak terbaring kaku, aku basuh seluruh tubuhnya, aku bersihkan seluruh kotoran yang masih ada pada tubuh bapak. Matanya seperti orang yang sedang tidur biasa. Aku melihat senyum di bibir bapak, senyum yang jarang aku lihat beberapa bulan terakhir. Tak biasanya bentuk bibir bapak seperti ini. Bibirnya terlihat tersenyum yang menentramkan hati. Aku tak bisa menahan air mata saat bapak dibaringkan dan dibalutkan kain putih bersih. Ketika kakak datang, barulah bapak disholatkan di Masjid Mu’tamarul Huda Bodelor, kemudian disemayamkan ke tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman sigleleng, dekat bapak haji dulmukti (ayah dari bapak).


Innalillahi wa innailaihi raaji'un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihii wa'fu'anhu.


Kamis dini hari 02.35, RSUD Gunung Djati, 28 Januari 2016 M/17 Rabiul Akhir 1437 H.

6 comments:

  1. Semangat mar. Tidak perlu menyalahkan diri sendiri, karena takdir sudah ditentukan oleh Allah dari dahulu. Semoga Allah menerima amalan-amalan baik almarhum, amiin.

    ReplyDelete
  2. Semangat mar, doakan selalu bapak di sana. Semoga Allah menerima segala kebaikan almarhum. Aamiin

    ReplyDelete
  3. Terus doakan Ayah, semangat a Umar-Jangan sedih terus. Yakinkan dalam diri, Ayah selalu dekat dan senantiasa memberi semangat a Umar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya rul. Ini sedang mempersiapkan. Hehe. Nuhun

      Delete

Powered by Blogger.