Cerita Persalinan


Saat istri mengabarkan kontraksi, rasanya  ingin segera pulang karena takut tidak bisa menemani dalam proses persalinan, meskipun kontraksi tersebut masih palsu. HPL juga sebenarnya masih jauh yaitu tanggal 25 Maret. Istri selalu bilang, "jangan buru-buru ya, nanti kelamaan nunggu. Jadi sama dedek bayinya sebentar, kalau udah menedekati HPL aja baru pulang atau kalau memang kontraksinya bukan palsu". Aku percaya pada feeling seorang perempuan, alhasil hanya bisa lihat harga tiket pesawat tanpa memesannya. 
Lima hari sebelum HPL yaitu 20 Maret 2020 akhirnya aku bisa pulang via Pangkalan Bun Kalteng - Semarang. Karena tiga hari sebelum itu ada kerjaan di unit terjauh Ketapang kota, lebih dekat sedikit ke Pangkalan Bun Kalimantan Tengah daripada ke Ketapang sekaligus harga tiket pesawatnya lebih murah, ini sih yang paling pentingnya. Jadwal pesawat yang mundur mengharuskanku memesan ulang tiket Kereta Api, yang sebelumnya jam 13.20 WIB menjadi jam 16.00 WIB dari Semarang Tawang (SMT) ke Cirebon (CN). Alhamdulillah sampai di Cirebon jam 19.00 WIB, dijemput istri dan mertua. 
Sesuai dengan arahan dokter kandungan, dedek bayinya mungkin perlu di 'tengok' bapaknya agar ada kontraksi dan induksi secara alami. Namun sesaat setelah di 'tengok', istri merasakan seperti ada letupan dalam rahimnya.
"Mungkin kepala dedeknya turun ya a" kata istri.
"Iya mungkin yang" jawabku singkat.
Tapi beberapa menit kemudian ada cairan yang mengalir dari jalan lahir. Istri langsung memeriksanya di kamar mandi. Awalnya mengira hanya rembesan saja, sehingga rencana kami memeriksakan kandungan pas jadwal dokter yaitu setelah Dzuhur. Tapi cairannya terus mengalir, hingga tiga kali ganti pembalut. Untuk memastikan cairan yang mengalir tersebut adalah cairan ketuban maka meminta kertas lakmus di Puskesmas sebelah rumah. Setelah dites, benar adanya bahwa cairannya adalah air ketuban. Kekhawatiran terlalu banyak yang keluar dan tidak tahu seberapa banyak lagi didalam yang yang tersisa, jam 10.00 WIB kami putuskan untuk langsung ke IGD Rumah Sakit.
Di IGD diperiksa oleh bidan, dan istri juga menjelaskan keluhannya dan sudah dicek menggunakan kertas lakmus. Bidan memeriksa rahim, hasilnya baru setengah centi, masih jauh katanya. Ketika selesai diperiksa, aku mengurus pendaftaran rawat inap ke bagian administrasi memilih sesuai dengan kelas yang direkomendasikan asuransi agar proses penagihan dan pembayarannya mudah. Awalnya kamar penuh, “ini kan diperlukan observasi. Nanti akan ada yang pulang dan diusahakan tetap ada kamar” ucap petugas administrasi. Sambil menunggu kamar kosong dan bidan berkonsultasi dengan dokter kandungan, istri masih terbaring sadar di IGD. Istri bercerita, "ini kemungkinannya dua pilihan a, operasi atau induksi. Diliat dulu denyut jantung bayinya masih bagus atau enggak. Kalau masih bagus, masih memungkinkan untuk induksi. Tapi kalau tidak bagus maka jalan satu-satunya adalah operasi". Sedih mendengarnya, keinginan istri dari awal adalah lahir secara normal, tapi jika memang untuk keselamatan bayi dan ibunya apapun dilakukan.
Beberapa menit kemudian Bidan datang dengan membawa fetal doppler dan menjelaskan "Ini kita DJJ dulu ya bu bayinya".
"Hasilnya bagus bu, 120. Tapi nanti diperiksa lagi pake CTG (cardiotography)" imbuh Bidan setelah DJJ menggunakan fetal doppler.
Jam 12.00 WIB, istri dibawa menggunakan kursi roda menuju Ruang Bersalin untuk dilakukan observasi. Kamar rawat inap sudah ada yaitu 206. Lantai 2 nomor 06, lantai 2 adalah dikhususkan untuk pasien obgyn. Di dalam ruang bersalin, bidan mengoleskan gel dan meletakkan alat berupa dua piringan pada permukaan perut istri diikat dengan ikat pinggang yang elastis. Satu piringan digunakan untuk mengukur denyut jantung janin, yang satunya lagi untuk mengukur berapa kali kontraksi dalam 30 menit. Alat tersebut dinamakan cardiotography (CTG) yang berfungsi untuk memantau denyut jantung bayi dan kontraksi. Terlihat pada layar monitor ada dua grafik, grafik atas menunjukkan denyut jantung, dan grafik bawah menunjukkan kontraksi. Grafiknya terus bergerak, kadang naik kadang turun, tiba-tiba bunyi alarm dan lampu indikatornya berwarna merah.
"Itu namanya fetal distress" kata Istri.
Fetal distress adalah gawat janin dimana janin tidak menerima cukup oksigen, sehingga mengalami sesak. Sesaat kemudian grafiknya kembali naik dan lampu indikator berwarna hijau. Setelah beberapa menit baru bisa dibaca hasilnya oleh dokter kandungan. Grafik yang muncul dikertas dari alat CTG diambil oleh bidan dan dikonsultasikan ke dokter kandungan. Dokter kandungan yang dari awal memeriksa istri di Rumah Sakit adalah dr. Aginta SpOG. Dari empat RS yang menjadi provider asuransi, hanya RS Mitra Plumbon yang dua dokter kandungannya adalah perempuan. Sehingga istri memilih untuk di sini.
Bidan kembali datang ke ruangan kami menggunakan APD yang standar, rahim istri diperiksa kembali apakah ada kemajuan atau tidak. Ternyata hasilnya sama masih jauh, masih setengah centi. Berdasarkan hasil CTG, dr. Aginta merekomendasikan untuk diberi obat induksi. 
"Ini dari dr. Aginta langsung induksi ya bu, kami berikan obat ya" Bidan berbicara pada kami. 
"Sakit ya bu" keluh istri. 
"Enggak bu, ini obatnya seperdelapan aja, nggak sampe setengah kok, jadi nggak terlalu sakit" Bidan coba menenangkan. 
Ketika obat coba dimasukkan, istri mengeluh kesakitan.
"Tenang ya bu, tenang. Ibunya yang rileks, jangan tegang ya" aba-aba Bidannya.
Obatpun masuk.
"Ini nanti obatnya per enam jam sekali ya bu, nanti diliat perkembangannya" kata Bidan.
Induksi adalah proses stimulasi kontraksi rahim buatan sebelum kontraksi alami terjadi, dan mempercepat proses persalinan.
"Gini ya a rasanya di VT, sakit" keluh istri.
"Iya kan biasanya ade VT orang, sekarang ngerasain di VT. Jadi tau gimana rasanya" jawabku sambil tersenyum.
"Yang, ini biasanya per 6 jam tu sampe berapa jam sih induksinya? Diberi obat dan diobservasinya?" Tanyaku yang belum paham.
"Biasanya 24 jam a" jawab istri.
"Oh begitu, lama juga ya" .
"Berarti di ruang ini nanti seharian ya, lumayan juga ya" pikirku.
Kami pindah ruangan ke dekat meja jaga Bidan. Satu jam kemudian, obatnya mulai bereaksi. Istri merasakan sakit pada rahimnya namun masih jarang. Sesuai aba-aba darinya, aku duduk disamping sambil mengusap pinggang belakang. Dua jam berlalu, reaksinya semakin sering, istri merasa kesakitan. Dzikir terus keluar dari mulut istri sambil menahan sakitnya. Aku tetap mengusap pinggangnya. 
Jam 16.00 WIB, dr Aginta dating, "gimana bu? Sakit ya? Ya begini kalau pengen persalinan normal, kuat ya bu". 
"Iya dok, sakit banget" jawab istri sambil menahan sakitnya. 
Istri memang sudah berbicara pada dr. Aginta dari awal ingin lahir normal.
"Ini saya VT dulu ya" 
"Aduh duh dok, sakit" lirih istri
"Tenang ya ibunya, rileks aja jangan tegang, makin tegang makin sakit"
"Ini udah maju, udah dua centi, lumayan. Terus pertahankan ya bu. Udah bagus posisi tidurnya miring ke kiri" tambah dr Aginta.
Semakin lama obatnya semakin bereaksi. Jam 17.00 WIB, istri mulai sangat kesakitan, semakin sering kontraksi. Emosinya pun mulai tidak terkontrol. Ketika aku angkat telepon ibu yang sudah ada di luar RS, istri marah-marah. Ibu dan mbak tak suruh pulang, karena memang di ruangan pun hanya boleh ditemani satu orang. Mamah papah mertua dan adik ipar yang mengantar ke IGD juga disuruh pulang. Dari pada nunggu di luar RS lama, lagian jarak rumah dengan RS juga nggak terlalu jauh.
Istri terus melakukan tarik nafas hembus nafas secara teratur sambil dzikir tanpa henti "Astagfirullah, Laa ilahaillallah, Laa haulawalakuwwataillabillah". Ketika sakit yang luar biasa terasa, bilang "ayo a yang keras lagi" sambil tarik nafas hembus nafas. Aku yang disampingnya mengusap pinggang belakang lebih keras. Sesuai aba-abanya juga memijat kaki yang kram. Alhasil pindah ke bagian depan istri, mijat paha kaki. Balik lagi ke belakang mengusap pinggang. Meskipun mengusapnya tidak berhenti tapi tetap kena marah istri. Namanya juga lagi kesakitan, jadi seperti itu. Aku hanya bisa terdiam sambil terus mengusap pinggangnya. Biar selow, nggak terpancing emosi juga, ditambah pengen ngemil, maka mengusap pinggangnya sambil ngemil kacang pilus. Haha. Tangan kanan mengambil pilus, tangan kiri mengusap pinggang. Dengan santainya aku begitu. Haha. Ya daripada kena marah istri ye kan, dan ikut tegang, mending dibuat selow aja. Tapi tetap mengusapnya dengan penuh cinta dan lebih keras kalau istri merasa kesakitan.
Ketika menjelang Maghrib, bidan datang dengan membawa CTG. Karena sudah hampir enam jam sejak dimasukkan obat pertama. Dua piringan CTG kembali mendarat dipermukaan perut istri. Meskipun merasakan sakitnya yang minta ampun, namum istri tidak sampai teriak-teriak. Yang istri lakukan adalah tarik nafas hembus nafas secara teratur. Terus seperti itu sejak awal merasakan sakit. Grafik pada CTG menunjukkan detak jantung mulai tidak stabil, lampu indikator sering berwarna merah, tanda fetal distress lebih sering. Kontraksinya pun semakin meningkat. Karena keadaan mulai tidak stabil, oksigen mulai dipasang pada hidung istri untuk membantu masuknya oksigen pada bayi. Istri terus mengeluh dan menahan sakit yang luar biasa. Aku yang melihatnya, merasa kasihan. Begini ya perjuangan seorang ibu ketika melahirkan seorang anak, antara hidup dan mati. Sungguh luar biasa seorang ibu, mengandung selama semibilan bulan, yang seringkali membuat tidurnya tidak nyaman, kadang juga begadang, tidak bebas bergerak, makan harus hati-hati, pinggang terasa sakit, kesehatannya benar-benar dijaga. Semua dilakukannya demi si buah hati dalam rahim. Setelah melahirkan, seorang ibu harus menyusui anaknya, yang setiap dua jam bangun, siang malam. Maka tak heran jika dalam sebuah hadits, ibu disebutkan tiga kali, barulah bapak.
Istri terus menahan sakit disertai mengejan sedikit. Bidan menegur "Ibu, jangan sambil ngejan ya, belum waktunya, ibu tarik nafas teratur aja". 
Sakitnya tak tertahan lagi, aku mulai panik dan tak tega melihat istri. 
"Sayaang, masih kuat enggak? Kalau nggak kuat operasi aja ya, aa gak tega liatnya, kasihan" tanyaku pada istri pelan. 
"Aku nggak kuat a kalau kayak gini terus masih lama" jawabnya lirih menitikan airmata.
Aku keluar menemui bidan, "mbak udah nggak kuat, operasi aja" pintaku pada Bidan dengan halus. Aku memahami situasi seperti ini karena pernah menemani istri bertugas di Puskesmas membantu seorang ibu yang melahirkan. Istri cerita kalau ada keluarga pasien yang nggak sabaran, marah-marah kepadanya. Maka disituasi seperti ini, aku mencoba menjadi keluarga pasien yang tidak ingin menyakiti tenaga medis yang berusaha membantu persalinan. Istri juga tidak teriak dan marah-marah. 
"Tunggu ya mas, hasil CTG nya baru bisa dibaca setelah 30 menit" jawab Bidannya. 
Aku terus disamping mengusap dahinya yang sedikit berkeringat karena menahan sakit, sambil berbisik "kuat ya sayaang, pasti kuat. Sayang sering bantu orang lahiran, nanti dibantu sama Allah. Sabar ya sayang". 
Bidan yang tadi masang CTG bersiap untuk melakuan VT. Setelah di VT, ternyata hasilnya sudah pembukaan delapan, tinggal nunggu lengkap saja. "Jadi nggak usah dioperasi ya. Sayang. Ini tinggal dikit lagi. Obatnya juga nggak dikasih lagi" saran Bidan. Dua piringan CTG segera dilepas.
Ngejan sedikit ternyata karena sudah pembukaan delapan bukan kemauan istri tapi refleks dari kepala bayi yang turun.
Istri masih terus meringis kesakitan, tapi belum ada tindakan dari Bidannya. Aku keluar menanyakan kembali "Ini nunggu apalagi ya mbak?"
"Bentar lagi ya mas, nunggu dokter lagi dijalan" jawab Bidan.
Beberapa menit kemudian dr. Aginta datang dan langsung memimpin proses persalinannya. 
"Masih kuat ya? Bisa ya?" tanya dr. Aginta.
"Gak bisa dok" jawab istri lirih.
"Jangan bilang nggak bisa, nanti nggak ada kemauan" tegur dr. Aginta.
"Iya sayaang, harus bisa ya. Sayang kan kalau ke orang begitu, bilang harus bisa. Sekarang mengalami sendiri. Jadi harus bisa ya" semangatku pada istri.
Tempat tidur dipotong setengah, kaki istri diangkat ke dudukan. Sementara bidan yang lain mempersiapkan tempat untuk bayi dan alat-alat yang dibutuhkan. Ketika semua sudah siap, dr. Aginta mulai memberi arahan "jangan ditahan ya, ngejan aja yang panjang, kalau berhenti jangan lama, cukup untuk tarik nafas langsung ngejan lagi".
Ketika ada rangsangan, istri langsung ngejan panjang, berhenti tarik nafas ngejan lagi. 
Aku disamping kiri, satu bidan disamping kanan kiri, dan ada seorang laki-laki sepetinya dokter jaga. Kami terus memberi semangat.
Setiap kali istri ngejan, aku ikut ngejan. Loh, kenapa ya aku kok ikut ngejan? Yang mau melahirkan istri. Emang begini kah? Aku bertanya pada diri sendiri.
"Ayo terus bu, terus, dikit lagi bu, rambutnya udah keliatan" teriak kami memberi semangat.
Nafas istri sepertinya sudah tidak kuat, padahal kepala sudah setengah. Bidan langsung memberi tekanan pada perut istri agar kepala bayi segera keluar. Sementara dr. Aginta merobek jalan rahim agar kepala bisa langsung keluar. Aku melihatnya, kepala bayi keluar. Ketika kepala sudah keluar, organ tubuh bayi yg lain seperti elastis tinggal ditarik kemudian keluarlah semua anggota tubuhnya. Pada saat sudah diluar rahim, organ tubuhnya seperti mengeras. Kalau dipikir pas sudah diluar rahim, ukuran segitu dimasukkan lagi ke rahim, apakah muat ya? 
Maha Kuasa Allah yang telah menciptakan manusia dalam beberapa proses yang tercantum dalam Al Qur'an. 
Beberapa detik diluar rahim, bayi mungil menangis. Tak lupa aku mengumandangkan adzan pada telinga kanan, dan iqomah pada telinga kiri. Rasa bahagia, haru, menyertai kami. Menitikan airmata seraya berkali kali mengucap syukur atas pertolongan-Mu ya Allah dan segala nikmat yang diberikan oleh-Mu ya Allah kepada kami.
Alhamdulillah, telah lahir anak pertama kami pada Sabtu 21 Maret 2020 / 27 Rajab 1441 H jam 19.56 WIB berjenis kelamin laki-laki dengan berat 2800 gram dan panjang 48 cm. Semoga Allah menjadikanmu anak yang sholeh, panjang umur dalam kebaikan, berakhlak baik, hafal dan paham Al-Qur’an kelak, bermanfaat untuk sesama. Aamiin ya Rabbal’alamin.
Terimakasih kepada dr. Aginta SpOG, bidan yang membantu dalam proses persalinan, pihak Rumah Sakit yaitu RS Mitra Plumbon atas pelayanannya, orangtua, keluarga, sahabat, rekan kerja, teman, netizen, yang telah mendoakan kami. Hanya Tuhan yang membalas kebaikan semuanya. 



2 comments:

  1. Mantap gan.. selamat..
    Semoga menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.. aamiin

    ReplyDelete

Powered by Blogger.